air mata lahar


ketika aku titipkan bait sajak para pengangguran
pengangguran … yang termangu meraba nasib
kuselipkan diantara desau angin
maka angin pun …
menjelma puting beliung

ketika aku titipkan baris puisi para petani
petani … yang menjadi budak di sawahnya sendiri
kuselipkan diantara gemericik air
maka air pun …
menjelma tsunami

dan saat aku bisikkan isak tangis para buruh
buruh … yang nafsunya bergemuruh
kubisikkan ke telinga bumi
maka bumi pun …
mengguncang menjelma gempa

maka berlarilah aku membawa tangisan
yang tak kutahu ia datang dari mana
kubasahi itu pangkuan gunung dengan air mata
dan gunung hanya terdiam …

air mata itu diserapnya hingga mengering

dan duh Gusti ………………………

gunung memuntahkan air mata itu …
air mata itu merah kuning warnanya …
air mata itu menjelma menjadi lahar !!!

ketakutan


sebuah ketakutan terbesar yang akhir-akhir ini selalu menghantui aku adalah kalau apa yang sedang aku jalani adalah bukan kehendakNya, bukan mauNya. aku sangat ingin untuk tak ingin. ingin kubaringkan keinginanku di altar persembahan Ibrahim tatkala membaringkan cintanya pada Ismail di altar cinta Tuhan.
sebab jika semua karena inginku, aku tak punya apa-apa untuk menghidupinya.
dan jika semua ini karena inginku, aku tak punya kekuatan apa-apa untuk memanggulnya.

(ingin) kuserahkan semua hanya pada inginNya, sebab jika Ia yang menginginkan, dipinjamkannya pula kekuatan memanggulnya dan diamanahkannya cahaya untuk menghidupinya.
…. 

sungguh aku takut kalau ini hanya inginku,
inginMu … hanya inginMu …

( dzulhijjah )

Serambi Madinah

–sebuah tanda seru bagi masyarakat Madura

Jembatan Suramadu hanya tinggal menyelesaikan bentang tengahnya, cable-stayed bridge, jembatan berstruktur kabel. Jika sudah selesai dan rampung ia, terhubunglah dua pulau yang terpisah oleh selat Madura itu. Keterhubungan dua bagian yang sebelumnya terpisah tersebut bisa ditafsirkan adanya sebuah komunikasi dan transportasi dari dan ke masing-masing dua bagian itu. Dan pola komunikasi dan transportasi yang sehat adalah yang berimbang, yang memberi dan menerima, terus berusaha ke satu titik kesetimbangan.

Di sisi lain, saya sempat mendengar bahwa Madura akan menasbihkan dirinya menjadi Serambi Madinah, disamping Aceh yang telah mengklaim dirinya sebagai Serambi Mekkah. Jujur saja, saya –yang sempat 2 tahun tinggal di Aceh- dalam sebuah kebimbangan yang amat besar mendengar kabar semacam ini. Ada sebuah kebanggaan yang memuncak mendengarnya, atau mungkin dengan sedikit didramatisir, ada sebuah kerinduan akan tatanan individu sosial kemasyarakatan seindah dan sebersahaja al-Madinah al-Munawwarah. Namun, di sela-sela kebanggaan itu, terbayang jelas akan begitu besarnya beban dan tanggung jawab kesejarahan yang harus dipikul oleh tanah tercinta saya Madura –dengan segala pranata sosial materialnya- untuk menjadi Serambi Madinah. Dan ini cukup membuat saya secara tidak sadar harus melafalkan inna liLlah wa inna ilayhi raji’un.

Peradaban Madinah, sependek pengetahuan saya, adalah peradaban Islam dimana Islam sudah melangkah dan melompat jauh dari sekedar ritual dan upacara keagamaan. Di Madinah, Islam “menemukan” tempatnya untuk meniupkan ruh-nya ke dalam peradaban secara langsung, menjadi nyawa bagi segala kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan peradaban Islam di Mekkah, Kanjeng Nabi “hanya” memulai menjadi Islam untuk diri dan umatnya sendiri, kaum muslim di saat itu. Bisa Anda bandingkan ayat-ayat Madaniyah dan Makkiyah. Ayat-ayat Madaniyah lebih bersifat dialektis dan demokratis, berbicara tentang tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan ayat Makkiyah yang “madhep-mantep”, tegas, padat, singkat dan jelas –dan mungkin lebih banyak yang bersifat dogmatis dan ideologis. Maka peradaban Islam era Madinah (yang dikenal dengan sebutan peradaban Madani), adalah sebuah peradaban Islam “lanjutan” dari peradaban Makkiyah. Pelaku-pelaku utamanya memang adalah kaum Muhajirin muslim dari Mekkah yang “bertugas” menjadi ruh peradaban Madinah, yang hal tersebut menuntut mereka untuk lebih mendayagunakan segala potensinya dengan bekal dogma dan ideologi pada peradaban Makkiyah. Dituntut pemahaman dan perilaku ke-Islam-an yang benar-benar bersifat rahamatan lil ‘alamin, sebagai aksentuasi dari ideologi Islam di era Makkiyah, namun dengan tetap mengakomodir kearifan lokal (local wisdom) dengan cara yang baik dan santun (mawidhatul hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan). Dan, dengan akhlaqul karimah, semua komponen di Madinah –baik itu muhajirin, anshar, muslim, musyrik- berhasil merumuskan apa yang disebut Piagam Madinah, sebuah traktat kemanusiaan tertulis pertama kali yang berbicara tentang demokrasi, jauh sebelum Declaration of Independence milik Amerika yang diagungkan sebagai piagam demokrasi. Anda bisa lihat kembali dan memaknai isi Piagam Madinah.

Maka peradaban Madinah mempersyaratkan pelakunya untuk lebih cerdas spiritual –yang di dalamnya harus terpenuhi syarat cerdas intelektual dan emosional-, sebab memahami –terlebih lagi mengaktualisasikan- ayat-ayat Madaniyah membutuhkan pemahaman yang lebih jauh hanya dari sekedar pemahaman dogmatis. Kewajiban ritual ibadah Islam (yang dirumuskan dalam Rukun Islam) harus ditemukan pemaknaannya dan dileburkan ke dalam tatanan kehidupan keseharian masyarakatnya, yang salah satunya sebagai sebuah pembuktian bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Hal ini berbeda dengan periode ketika Kanjeng Nabi dan para sahabat hidup di Mekkah. Kehadiran Kanjeng Nabi dan para sahabat di Mekkah dianggap hanya menjadi “pengacau stabilitas politik dan keamanan” bagi kaum musyrikin Mekkah, sehingga terjadilah apa yang disebut ‘amul hazn (tahun duka cita), boikot di Syi’b Ali, dan peristiwa Tha’if dan yang akhirnya berujung pada peristiwa hijrah. Ya, peradaban Madinah adalah peradaban hijrah, tonggak kalender Islam.

Inilah yang sebenarnya merisaukan saya, tentang tanggung jawab besar yang menanti jika benar-benar Madura akan “memproklamirkan diri” sebagai Serambi Madinah. Sebab, yang pertama dibutuhkan adalah keikhlasan dan kejujuran yang paling akar, akan keadaan diri sendiri. Apakah memang, -tanpa bermaksud meremehkan Madura- sudah sedemikian siapkah tanah Madura “memproklamirkan diri” sebagai Serambi Madinah?

Kanjeng Nabi dan para sahabat kaum Muhajirin datang ke Madinah, dengan sebuah harapan tentang bakal membaiknya kehidupan mereka, setelah sekian lama di Mekkah menjadi kaum tertindas dan termarjinalkan.

Sebab di Madinah –sependek pengetahuan saya-, Kanjeng Nabi dan para sahabat tidak menjadikan Islam sebagai dasar pedoman bermasyarakat dan berdialektika sosial secara de jure. Kanjeng Nabi dan para kaum Muhajirin hanya menjadi muslim dan mukmin. Tidak lebih. Hanya menjalankan Islam dengan kaaffaah, tanpa harus kehilangan identitas kemanusiaannya sebagai orang Arab, suku Quraisy. Hukum de facto yang berlaku di Madinah adalah hasil perjanjian kolektif dan demokratis antara komponen masyarakat Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah. Dan penerapan Islam oleh Kanjeng Nabi dan kaum Muhajirin terbukti mendatangkan maslahat, ketenangan dan kedamaian dalam struktur dan keseharian masyarakat disana. Tidak mengherankan, meskipun belum semua penduduk Madinah memeluk Islam, namun masyarakat Madinah secara sukarela mengadopsi cara bermasyarakat yang dijalankan Kanjeng Nabi dan kaum Muhajirin karena Islam sudah “membuktikan dirinya” menjadi cahaya dan ruh peradaban Madinah. Dan masyarakat Madinah yang majemuk dan plural menjadi satu tekad ketika menghadapi kaum musyrikin yang menyerang mereka saat Perang Badr. Semua masyarakat Madinah, baik Muslim maupun bukan, berdiri di barisan Kanjeng Nabi saat itu. Disamping karena rasa cinta yang melimpah ruah kepada Kanjeng Nabi, mereka sepenuhnya sadar bahwa gangguan terhadap Kanjeng Nabi adalah berarti juga gangguan terhadap kedamaian dan ketenangan kehidupan masyarakat Madinah.

Peradaban Madaniyyah bukan lagi peradaban yang menjadikan Islam sebagai sebuah ritual keagamaan saja, yang berhenti dalam pengertian bahwa shalat itu harus dilaksanakan karena berpahala atau mendatangkan dosa kalau tidak dikerjakan. Peradaban Madaniyyah bukan lagi peradaban yang menjadikan Islam sebagai bendera dan kubah masjid mewah belaka, dalam asrtian bahwa zina dan riba itu tidak dikerjakan karena haram dan mendatangkan dosa. Peradaban Madaniyyah adalah sebuah peradaban dimana shalat wajib dilakukan karena memang memang shalat sangat dibutuhkan sebagai sebuah terapi sosial untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang damai dan salam. Peradaban Madaniyyah adalah sebuah peradaban dimana zina dan riba secara sepenuhnya secara dijauhi karena tidak mendatangkan manfaat dan hanya mendatangkan mudharat. Singkatnya, peradaban Madaniyyah adalah sebuah peradaban dimana syari’at (dalam artian sempit dan definisi fiqh) tidak hanya sekedar sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan bersama, sehingga tidak ada masalah apakah mau “diundang-undangkan” secara resmi maupun tidak. Masyarakatnya sudah berhasil merasakan salam dan nikmat dalam menjalankan syariat, bukan karena rasa takut –baik takut kepada MUI, FPI, NU, Muhammadiyah, UU, Perda ataupun Satpol PP.

Maka, ketika Madura sudah membulatkan tekadnya menjadi Serambi Madinah, menjadi sebuah kata perintah, menjadi ‘amr –bagi masyarakat Madura untuk kembali menengok Sirah Nabawiyyah, untuk menemukan kembali nilai dan siyasah yang diterapkan saat itu, yang kemudian bisa diaplikasikan dalam mempersiapkan diri menjadi Serambi Madinah. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan membutuhkan keikhlasan dan kelapangan dada.

Dan Jembatan Suramadu terus dibangun. Dan itu berarti, tidak banyak lagi waktu yang tersisa jika memang Madura menawarkan dirinya menjadi sebuah tanah “munawwarah” bagi semua makhluk Tuhan.


   — tulisan ini juga dimuat di Kabar Madura